Perjalanan ini membawa saya menelusuri jalur kereta api Skandinavia
dari Stockholm, Swedia menuju Narvik, Norwegia. Cerita ini akan dibagi
menjadi beberapa bagian. Selamat mengikuti!
Beberapa
perjalanan udara, darat dan air membawa saya ke kota keberangkatan
Stockholm di Swedia, yang berpenduduk 1,2 juta jiwa. Bis yang membawa
saya dari Kopenhagen, Denmark, berhenti di Cityterminalen pada waktu
subuh. Hari sangat gelap. Suhu yang berkisar 0-10°C (masih terhitung
hangat) dan angin menusuk dan menembus kulit.
Saya lihat dompet.
Beruntung, saya sempat menukarkan sisa krona Denmark ke krona Swedia.
Saya pun mampir ke Pressbyrån, sebuah toko kecil serba ada, untuk
membeli sarapan roti isi dan segelas susu hangat bagi tubuh yang
kelaparan ini.
Jadwal selanjutnya, mencari hostel di bilangan Södermälarstrand, daerah yang cukup sentral di kota Stockholm.
Perjalanan
dengan kereta bawah tanah untuk satu zona mencapai 40 krona Swedia atau
sekitar Rp 52 ribu. Ini tergolong mahal, apalagi setelah saya menyadari
bahwa jarak yang ditempuh cukup dekat — hanya sekitar tiga stasiun.
Setelah
beberapa kali salah jalan dan bertanya, akhirnya saya sampai di hostel
yang dibangun dari kapal bermesin uap yang sudah tak aktif, tapi masih
mengapung di dermaga.
Sejauh mata memandang dari dalam “dek”
hostel, saya melihat lanskap kota di seberang Teluk Riddarfjärden:
Stadshuset, dewan kota dengan menara bermahkotakan simbol negara The
Three Crowns.
Central
Station mendampingi di sebelah timurnya, dengan latar distrik Norrmalm,
pusat kota modern Stockholm saat ini. Setelah itu, pandangan dengan
mudahnya beralih ke bangunan- bangunan tua di Gamla Stan, atau secara
harfiah berarti kota tua.
Jika biasanya kota-kota di dunia hanya
memiliki marka “semu” yang memisahkan daerah- daerahnya, maka Stockholm
memiliki marka nyata: air. Kota ini terdiri dari sekian pulau yang
dihubungkan jembatan. Gamla Stan terletak di jantungnya, di sebuah
pulau kecil yang menjadi cikal bakal kota Stockholm lebih 700 tahun
yang lalu.
Tak ubahnya seperti Kota Tua di Jakarta, Gamla Stan
memiliki banyak sekali struktur bangunan yang masih mempertahankan
keasliannya sejak zaman pertengahan.
Tata letak jalan-jalannya
pun masih menyerupai zaman itu. Organik, seperti labirin dan sempit.
Tak semua jalan itu bisa dilalui kendaraan bermotor. Selain karena
daerah konservasi, kebanyakan juga terlalu sempit untuk dilalui.
Adalah
mudah untuk tersasar di Gamla Stan, namun mudah juga untuk
menikmatinya. Beberapa jalan utama padat dengan turis, tapi banyak
jalan-jalan “tikus” yang membawa kita ke sisi “halaman belakang”.
Beberapa ruas jalan memang memiliki kesan sebagai jebakan turis, yang
tersembunyi dan lebih menarik.
Ada toko buku kecil yang
menjual buku-buku fiksi berbahasa Swedia dan Inggris. Di sisi lain, ada
toko yang menjual peta dan gambar kuno. Jika jeli, Anda juga akan
menemukan restoran yang terletak cukup tersembunyi yang menawarkan
pengalaman kuliner lebih asli dan tenang.
Jika Anda ingin mencoba köttbullar,
sajian gilingan daging (bakso) ala Swedia yang dilengkapi dengan kacang
polong dan kentang tumbuk, coba sambangi salah satu tempat makan di
sini, walau mungkin bukan dalam harga yang terbaik.
Stockholm
menobatkan dirinya sebagai ibukota budaya dari Skandinavia, sebuah
wilayah yang mencakup Denmark, Norwegia dan Swedia. Kota ini memiliki
lebih dari 100 museum yang tersebar di berbagai penjuru kota. Rasanya
tak salah jika dikatakan penduduk Stockholm punya obsesi terhadap
museum, karena hampir setiap topik atau tema dijadikan museum!
Di
Stadmuseum contohnya, ada pameran mengenai isi dapur penghuni kota
Stockholm, sampai studi material yang digunakan dalam interior dapur.
Berbagai topik menarik disajikan di masing-masing institusinya: dari
maritim, seni abad pertengahan dan kontemporer, musik, hingga militer
dan sejarah.
Pulau Djurgården, salah satu tujuan utama di Stockholm, merupakan pintu dari Kongligen nationalstadsparken,
atau Royal National City Park. Di sana terdapat sekitar 20 museum. Saya
sempatkan menikmati beberapa museum di pulau ini, terutama Vasamuseet,
sebuah museum yang menunjukkan kedekatan masyarakat Swedia dengan
budaya maritim. Tema utama museum ini adalah sebuah kapal perang dari
zaman pertengahan yang dievakuasi dari perairan kota.
Raja
Swedia pada saat itu, Gustavus Adolphus (1594–1632), memerintahkan anak
buahnya untuk membuat beberapa kapal perang besar yang bertujuan
menegaskan eksistensi kekuatan kerajaan Swedia di negara-negara Laut
Baltik.
Ketika itu, Swedia sedang gencar-gencarnya berperang
dengan Polandia, dan merasa cemas dengan perkembangan Perang Tiga-Puluh
Tahun di Jerman. Selain itu, Swedia juga merasa khawatir dengan musuh
bebuyutannya, Denmark, yang akan mendominasi lalu lintas di daerah
Baltik.
Salah
satu kapal utama dinamakan Vasa, dan direncanakan memimpin empat kapal
lain. Kapal ini paling besar dan kuat. Namun pada hari perdana
berlayar, 10 Agustus 1628, kapal ini tenggelam tak jauh dari pulau
Djurgården setelah memulai pelayaran dari tempat pembuatannya di
Skeppsgarden, dekat Gamla Stan. Kapal ini diduga tenggelam karena
konstruksi yang kurang baik, serta beban berlebih.
Kapal menjadi
tidak stabil dan terpaan angin mengakhiri riwayatnya. Sedihnya,
sebagian besar personelnya juga terpaksa berakhir hidupnya.
Dua
jam di museum ini membuat saya mengapresiasi bagaimana masyarakat
Swedia menghargai sejarahnya, dan yang lebih penting lagi, memonumenkan
kesalahan manusianya. Siapakah dari kita yang mau memuseumkan kesalahan
untuk dipelajari?
Walau belum puas berkeliling Stockholm, saya
harus melanjutkan perjalanan dengan agenda utama: petualangan kereta
api memburu salju musim gugur. Menumpang kereta malam, saya berangkat
ke Östersund, sebuah kota di negeri Jamtland, sekitar tujuh jam
perjalanan ke arah barat laut Stockholm.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar