Saya beruntung menginap di dekat stasiun kereta api utama di
Stockholm, sehingga bisa mencapainya hanya kurang dari 30 menit
berjalan kaki. Ketika sampai di sana, saya sempat terperangah karena
stasiun ini begitu ramai (hari itu memang hari kerja, sehingga banyak
warga Stockholm yang baru pulang kantor).
Begitu memasuki kabin kereta dengan penghangat udara, saya langsung bersyukur sebab di luar sana suhu dingin amat menusuk kulit.
Suasana stasiun kereta api Stockholm.
Masih ada waktu satu jam sebelum kereta berangkat. Saya pun menggunakannya untuk istirahat. Meski sempit, tempat tidur susun (berth)
yang cukup nyaman membuat saya terlelap begitu cepat sampai akhirnya
terbangun karena ada penumpang lain yang masuk ke kompartemen
berkapasitas enam orang itu.
Kereta pun bertolak. Sayup-sayup terdengar suara kondektur
meniup peluit dan pengumuman kereta diberangkatkan. Lampu kota dan
jalanan yang sepi pun melepas keberangkatan kami waktu itu. Ketika
kilatan lampu kian redup, yang berarti gerbong mulai meninggalkan
kehidupan kota, saya pun tertidur pulas bertemankan irama benturan roda
dan rel yang teratur.
Kereta api SJ Nattåg (kereta malam) yang saya tumpangi ini
adalah kereta reguler. Selain kereta ini, ada pula beberapa kereta
ekspres (bernama X2000), yang hanya melayani jalur-jalur tertentu
seperti Stockholm-Malmo dan Stockholm-Goteborg dan waktu tertentu
terutama siang hari.
Interior gerbong tidur di kereta malam menuju Östersund.
Sepanjang
perjalanan, beberapa kali saya terbangun. Kalau tidak karena kereta
yang berhenti di sebuah stasiun, pasti karena gerak atau suara
penumpang lain di kompartemen saya — misalnya ketika seorang lelaki
berbahasa Arab sedang bercakap-cakap di telepon.
(Saya jadi ingat tentang banyaknya imigran dari Timur Tengah
di negara-negara Skandinavia. Di Swedia, misalnya, banyak pengungsi
Irak bermukim di Södertälje, sebuah kota di barat daya Stockholm.
Standar hidup dan stabilitas politik yang relatif baik menjadikan
negara Skandinavia sebagai tujuan utama para pencari suaka).
Malam itu kereta api melaju ke barat laut. Daerah ini tidak
terlalu padat, karena kebanyakan masyarakat Swedia bermukim di sebelah
selatan. Perjalanan kereta ini akan berakhir di Åre, kota resor ski di
perbatasan Swedia-Norwegia, namun saya akan berhenti di Östersund —
sebuah kota yang jadi salah satu tujuan utama penduduk Swedia ketika
musim dingin untuk olahraga atau rekreasi seperti ski, sledding & snowmobiling.
Pukul tujuh pagi saya sampai di Östersund, saat matahari baru
terbit (memasuki musim dingin, siang hari lebih pendek dari malam).
Saya melihat peta dan berjalan kaki menuju Nya Pensionatet, sebuah
hotel sederhana yang sebenarnya merupakan sebuah unit apartemen dengan
lima kamar. Dengan harga 400 krona (sekitar Rp 520 ribu) per malam, hotel
ini punya fasilitas menyenangkan: sarapan, tempat tidur ternyaman
selama perjalanan ini, kopi dan teh gratis 24 jam, serta mesin cuci
bebas pakai (termasuk deterjen).
Balai kota Östersund.
Saya
suka kota kecil ini. Setelah beberapa hari singgah di kota besar,
rasanya baru kali ini dapat istirahat dari keriuhan kota besar. Tak ada
kereta listrik bawah tanah, tak ada lalu lintas kendaraan roda empat
atau roda dua yang hiruk pikuk. Banyak tempat berjalan kaki, banyak
waktu menikmati danau Storsjön, salah satu danau terluas di Swedia.
Sayang, musim panas sudah berlalu, karena ternyata kapal uap
mungil S/S Thomée penelusur danau itu hanya beroperasi dari bulan Juni
sampai September setiap tahunnya. Telat!
Sebenarnya, di sepanjang perbatasan Swedia-Norwegia terdapat
banyak sekali kota resor musim dingin yang terletak lebih tinggi
Östersund, sebut saja Åre di sebelah barat atau Riksgränsen di utara.
Tapi Östersund jadi pilihan ideal terutama untuk keluarga karena
infrastrukturnya — akses, hotel, tempat makan dan berbelanja.
Kegiatan liburan yang ditawarkan pun lebih banyak dari sekadar
olahraga ski. Östersund memiliki nilai sejarah dan budaya yang cukup
tinggi. Suatu waktu, provinsi Jamtland pernah dikuasai oleh Norwegia,
lalu diperebutkan oleh perserikatan Denmark-Norwegia, sebelum pada
akhirnya jatuh ke tangan Swedia.
Secara religius, ternyata masyarakat Jamtland lebih memilih
untuk bergabung dengan Swedia. Walau pernah menjadi saksi perebutan
kekuasaan, Östersund dan Jamtland ternyata juga menjadi pemersatu
antara Norwegia dan Swedia. Dibangunnya rel kereta api menuju Östersund
dari sisi Norwegia (Trondheim) maupun Swedia (Sundsvall, lalu ke
Stockholm) merupakan infrastruktur penting bagi kelancaran perdagangan
dan persahabatan antara penduduk Norwegia dan Swedia. Seketika,
Östersund menjadi tempat yang strategis untuk singgah.
Lalu, ada kisah masyarakat Saami, yang semi-nomaden, yang
bermukim di utara Jamtland. Keberadaan masyarakat Saami sangat dihargai
pemerintah Swedia, Norwegia, Finlandia dan Rusia. Karena budaya, bahasa
dan cara hidup masyarakat ini terancam punah oleh modernisasi,
pemerintah kota pun Östersund membangun sebuah museum agar generasi
muda Swedia dapat menghargai keberadaan masyarakat Saami. Museum ini
bernama Museum Jamtli.
Jembatan di distrik Frösön.
Saya
menghabiskan waktu satu hari di kota mungil ini dengan berkeliling
dengan bis yang berakhir ke sebuah gereja di seberang danau, lalu
berjalan kaki 6 km sampai ke pusat kota lagi menyisiri danau, melewati
perumahan penduduk yang sepi ditemani pohon-pohon tinggi dan rindang,
sambil menikmati udara sejuk. Dua jam untuk diri sendiri bersama alam.
Hari semakin gelap. Setelah puas mengelilingi distrik Frösön
hingga menyeberangi jembatan panjang untuk kembali ke kota, saya mampir
ke kedai terdekat. Di sana saya memesan goulash — favorit para penduduk untuk menghangatkan badan dengan sajian penuh lemak.
Isinya pun sangat menggiurkan: gilingan daging sapi, irisan
bawang merah, sayuran, bumbu-bumbu dan taburan serbuk paprika direbus
bersama di atas panci dan diaduk menjadi satu. Warnanya yang kemerahan
dengan asap yang mengepul membuat siapa saja menjadi berselera. Koin
sejumlah 59 krona (sekitar Rp 80 ribu) menjadi penebus rasa lapar ini!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar