Search

Sabtu, 24 Oktober 2009

Fotografi : Gempa dalam Photo Story

Fotografi amat mengenal photo story, yaitu rangkaian foto yang disusun hingga membentuk cerita dalam representasi peristiwa. Bisa saja kumpulan foto hanya menjadi foto terpisah dan bukan merupakan photo story jika tidak terintegrasi dalam kohesi naratif.


Sebenarnya, photo story tidak hanya ditampilkan di media sewaktu peristiwa terjadi. Banyak tema non-spot news yang bisa disajikan dalam bentuk photo story. Misalnya, kehidupan malam, workaholic, homeless, pertambangan ilegal, kehidupan pengguna obat terlarang beserta tempat rehabilitasinya, maupun kecanduan minuman alcohol. Photo story adakalanya dibuat dalam beberapa menit ketika mengabadikan kejadian.


Tetapi, ada pula pembuatan photo story yang memerlukan waktu bertahun-tahun. Seperti Lewis W. Hine yang mendokumentasi 5 ribu foto tentang buruh anak di sejumlah wilayah di Amerika pada 1908 dan 1921. Lewat photo story Hine, Akhirnya terjadi perubahan social dengan lahirnya regulasi dari pemerintahan federal untuk melarang mempekerjakan buruh anak.


Salah satu alasan mengapa foto bencana salam seperti banjir, gempa bumi, dan longsor, menjadi atensi dalam photo story ialah bencana tersebut memberi begitu banyak pilihan momen. Tangis histeris, penderitaan, dan kesedihan menyatu dalam konteks pernyataan keprihatinan, disamping keruntuhan bangunan. Memotret bencana alam, seperti gempa, memerlukan manajemen pemetaan untuk mendeskripsikan keadaan lewat foto.


Penyisihan foto bisa dikategorikan spot news maupun features. Baik foto spot news maupun features bisa ditampilkan sebagai foto utama dalam single photo (foto tunggal) dalam halaman media cetak. Untuk media harian, single photo tetap memberi peluang foto headline. Kehadiran satu foto atau lebih dihalaman utama menjadi politik keredaksian setiap media. Kadang satu foto dihadirkan sebagai foto headline dan foto kedua sebagai foto penunjangnya. Itu belum bisa dikatakan photo story, meski foto utamanya dua. Sebab, tidak serta merta penyajian foto-foto tersebut terintegrasi secara kohesi.


Apabila sebuah rangkaian foto disusun sebagai proses dari awal hingga akhir, diawali adanya kompilasi berlanjut dengan penyajian resolusi, deretan foto tersebut disebut photo story naratif, bahkan argumentatif.


Foto naratif bersifat membentuk cerita mulai permulaan hingga akhir secara berurut. Adapaun photo story argumentative merupakan foto esai yang memberi eksplanasi dari dua sudut pandang yang argumentative. Umumnya foto bencana bisa dipetakan dalam rangkaian tahap. Bisa untuk running news yang terbit single photo dalam beberapa hari maupun sebagai rangkaian dalam bentuk photo story yang disajikan satu halaman.


Penampilan single photo gempa besar secara running (berkesinambungan) di media membutuhkan tahap progress dan menghindari foto pengulangan. Misalnya, foto kehancuran insfrastruktur menjadi tidak menarik ketika ditampilkan terus menerus dalam beberapa hari. Dibutuhkan langkah maju dalam running news penyajian fotonya. Struktur pemetaan foto dalam kronologi peristiwa bencana besar sangat bergantung pada peran fotografer, redaktur foto, dan pemred media dalam mengorganisasikan tahap running news photo.


Pengorganisasian tahap-tahap liputan bertujuan menghindari foto yang monoton, tanpa progress, dan pengulangan yang tidak perlu. Mulai kejadian gempa sampai pascarehabilitasi membutuhkan tahap rangakaian foto yang berjenjang.


Kronologi pengabdian foto gempa tahap pertama adalah (1) menangkap ekspresi dan gerak masyarakat yang berhamburan keluar bangunan. Foto gempa dipastikan lebih banyak menampilkan foto kesedihan. Memang agak berbeda ditengah penderitaan bisa menghadirkan foto orang gembira apalagi tertawa. Sangat ironis, meski itu menarik untuk berita. Tetapi, hal tersebut belum pernah terjadi.


Disusul (2) orang-orang yang berteriak histeris ketika menyaksikan bangunan yang ambruk. Tentu, foto itu hanya bisa diperoleh fotografer lokal yang berada dilokasi setempet. Fotografer diluar wilayah bencana masih punya banyak kesempatan untuk memperoleh momen lain. Sebab, kelangsungan peristiwa gempa terjadi lebih lama. Itu berbeda dengan kebakaran pesawat, tenggelamnya kapal, atau tabrakan kereta yang hanya dalam perlu hitungan jam untuk merekam momennya.


Tahap running news photo selanjutnya adalah (3) merekam bangunan ambruk dalam kondisi yang parah menjadi sulit karena luasnya wilayah. Apalagi, jumlah bangunan yang runtuh sangat banyak. Dengan demikian, fotografer harus mencari bangunan paling rusak parah maupun momen yang menimbulkan kesan dramatis karena masih ada orang yang terjebak didalam bangunan rusak. Banyak fotografer yang terfokus pada satu lokasi sehingga mengesampingkan bangunan lain. Padahal, bisa jadi bangunan lain memiliki nilai berita lebih. Untuk menggambarkan suasana kerusakan secara keseluruhan memang yang paling tepat dengan pengambilan dari atas heli. (4) Petugas gabungan medis, TNI-Polri, team rescue, dan aparat pemerintahan yang mencari korban dan menevakuasi korban gempa dengan alat berat. (5) Rumah sakit yang kebanjiran pasien luka-luka berat maupun ringan. (6) Deretan korban gempa yang meninggal, biasanya diletakkan berjajar. (7) Kemudian pemotretan keadaan malam yang gelap tanpa listrik dan diganti dengan petromak.


Kesulitan fotografer media di daerah gempa adalah proses mengirim foto ketika insfratuktur dan jaringan telekomuniaksi tidak berfungsi. Peristiwa itu terjadi ketika gempa besar yang mengguncang Kota Padang pada hari pertama. Foto-foto tidak bisa terkirim lewat internet ke luar daerah Padang. Dengan demikian, hampir seluruh tampilan foto di media cetak Indonesia tidak menggambarkan gempa yang besar. Salah satu cara mengatasi hal tersebut adalah penggunaan telepon satelit.

Running news photo berikutnya (8) prioritas subjek pada bayi, anak-anak, wanita hanil, orang cacat, orang tua, renta,. Point of interest pada subjek itu memberikan empasti pada aspek kemanusiaan lebih tinggi. Lantas, (9) foto orang-orang yang tidak berani tidur di dalam rumah. Mereka mendirikan tenda atau tidur berkelompok jauh didepan rumah. (10) Pengungsian yang dikonsentrasikan disebuah tempat. Suasana pengungsian di siang maupun malam. (11) Pembagian makanan dari dapur umum, termasuk pemberian bantuan berupa pakaian, makanan, dan uang.


Setelah gempa berlangsung beberapa hari, yang perlu dicermati fotografer adalah pendekatan terhadap subjek sebelum memotret. Hal itu dilakukan untuk menghindari kata-kata umpatan sebagai fotografer yang tidak berperasaan. Biasanya itu terjadi ketika korban hanya difoto, tapi tidak kunjung diberi bantuan. Itu terjadi pascagempa. Mereka bisa sangat sensitive. Mereka kadang menganggap mengabadikan penderitan orang sering memaknai mengeksploitasi.


Perlu pendekatan dulu sebagai etika memotret terhadap subjek di daerah gempa. Mengajak ngobrol, turut prihatin, dan ungkapan belasungkawa sangat dibutuhkan sebagai langkah pendekatan sebelum memotret. Pemotretan memang tidak terlihat sebagai aktifitas membantu secara langsung.


Namun, disamping mendokumentasikan, tugas fotografer adalah menginformasikan kepada khalayak agar melihat realitas melalui foto di media. (12) Lantas, selang beberapa lama di tempat pengungsian, kemungkinan terjadi penyebaran penyakit karena sanitasi tidak cukup baik. (13) Tahap terakhir pemotretan dalam rangkaian foto adalah pembersihan puing-puing reruntuhan., baik yang dilakukan manusia ataupun alat-alat berat. Sejumlah elemen peristiwa yang disajikan secara berkala dalam running news photo di harian media cetak menjadi single photo ketika ditampilkan terpisah setiap hari. Namun, rangkaian tersebut juga bisa menjadi photo story ketika direpresentasikan dalam susunan foto yang terintregrasi.



Tahap Pemotretan Dalam Memotret Bencana :

1. Ekpresi dan gerak dinamis masyarakat yang menyelamatkan diri dari gempa.

2. Histeria orang menyaksikan bangunan yang runtuh.

3. Mencari bangunan dengan kerusakan parah maupun korban yang terperangkap.

4. Evakuasi korban gempa.

5. Rumah sakit yang kebanjiran pasien.

6. Deretan korban yang meninggal.

7. Suasana malam tanpa penerangan listrik.

8. Prioritas korban bayi, anak-anak, orang cacat, ibu hamil, orang tua renta.

9. Foto orang-orang yang tidak berani tidur didalam rumah.

10. Keadaan pengungsian.

11. Pemberian bantuan.

12. Penyebaran penyakit di pengungsian maupun korban yang lama tak terevakuasi.

13. Pembersihan puing-puing reruntuhan.



Dikutip dari Yuyung Abdi (redaktur foto Jawa POS)


Tidak ada komentar: