Search

Sabtu, 24 Oktober 2009

Fotografi : Underwater Photography

Hebat didarat bukan berarti jagoan pula memotret di dalam air (underwater). Teknik foto didarat tak bisa langsung diterapkan begitu saja secara mudah untuk underwater photography. Kondisinya begitu berbeda, environment (lingkungan)-nya tak sama. Banyak factor teknis yang nonteknis yang membedakan fotografi didarat dengan fotografi didalam air.


Secara teknis, tentu yang digunakan untuk underwater photography adalah kamera dengan casing (pelindung) kedap air. Karena itu, saat perkembangan kamera digital belum terlalu booming, presentase penggemar fotografi didalam air tidak banyak. Di Indonesia, fotografer dengan kemampuan itu bisa dihitung dengan jari.


Mereka bukan tak tertarik. Melainkan, kala itu peralatan kamera bawah air memang begitu mahal. Kamera pun banyak yang terintegrasi menjadi satu, tidak terpisah antara kamera dengan housing. Lantaran memakai kamera konvensional, ada keterbatasan jumlah frame yang bisa digunakan di dalam air. Secara fotografer harus naik laut ke darat untuk mengganti rol film yang baru. Kekurangan lain, objek pada viewfinder terlihat lebih besar karena perbedaan indeks bias.


Kelahiran kamera digital yang disertai teknologi casing dalam air, bahkan munculnya kamera waterproof, membuat perkembangan underwater photography melesat. Bukan hanya kamera high-end yang digemari. Kamera low-end yang dilengkapi dengan housing underwater pun mencuri hati penggemar.


Memang, kamera underwater yang tersedia di pasaran sangat variatif. Harganya bergantung bahan, ukuranm atau dimensi kamera serta fitur yang disediakan. Housing kamera underwater yang terbuat dari plastic polimer keras memang berbeda dengan bahan kamera DSLR dan poket.


Kamera high-end, misalnya Canon EOS 1D Mark III, berharga cukup mahal. Yakni, sekitar Rp 20 juta. Lalu, casing dalam air untuk kamera low-end berkisar Rp 1 juta – Rp 2 juta. Contohnya adalah casing Canon PowerShot G10 yang terbuat dari plastic polimer. Harganya sekitar Rp 3 juta dengan kemampuan didalam air hingga 15 – 20 meter. Kamera itu cukup diminati penyelam. Harganya terjangkau, tapi kualitasnya bagus.


Ada juga casing underwater untuk kamera DSLR yang terbuat dari plastic lentur. Harganya jauh lebih murah, sekitar Rp 1,2 juta – Rp 2 juta. Namun, kedalaman yang bisa dicapai hanya berkisar 5 – 10 meter. Sementara itu, untuk digunakan di kolam renang atau pantai, orang lebih memilih kamera waterproof yang tidak pakai casing. Misalnya Canon D10 underwater dengan harga Rp 3,5 juta dengan kemampuan hingga kedalaman 10 meter.


Foto bawah air berkaitan dengan kemampuan menyelam. Fotografer underwater harus memiliki sertifikat menyelam. Sertifikat itu punya berbagai tingkat dan dapat diperoleh lewat pendidikan khusus. Kursus tersebut berguna untuk mengetahui safety, reglasi, maupun fenomena dibawah laut. Harga perlengkapan, mulai tabung oksigen hingga aksesori selam, mencapai puluhan juta rupiah.


Faktor internal yang harus diperhatikan saat menyelam adalah kedalaman dan waktu penyelaman. Kapasitas tabung oksigen harus dikontrol. Sebab, itu menentukan lamanya menyelam. Selain itu, kedalaman menyelam berpengaruh pada jumlah oksigen yang dugunakan. Sehingga, penyelam meiliki waktu yang sangat terbatas karena menyesuaikan dengan kondisi tabung oksigen yang dibawa. Dalam setiap penyelaman, dibutuhkan pemberat agar penyelam dapat masuk kebawah air. Sebab, tabung oksigen berisi udara yang mengakibatkan mengapung jika tak diberi pemberat. Pemberat itu bervariasi untuk tiap – tiap orang, mulai 1 kilogram hingga 20 kilogram.


Perbedaan terbesar antara pemotretan didarat dan dalam air adalah pengendalian keseimbangan saat memotret. Di darat, fotografer bisa bertumpu pada kaki atau tripod sebagai penyangga artificial. Hambatan berupa angin pun bisa direduksi asal tubuh tidak terlalu ekstrem. Namun, pemotretan bawah air begitu berbeda. Tubuh tak stabil didalam air. Gerakan air begitu mempengaruhi seorang fotografer, apalagi dalam air yang berarus deras.


Sementara itu, semakin dalam pengambilan foto dari permukaan air, semakin sedikit intensitas cahaya. Sebab, sebagian cahaya yang masuk ke air dipantulkan oleh permukaan air. Sebagian lagi diabsorb (serap) sehingga intensitasnya begitu berkurang. Karena itu, persoalan teknis kerap menjadi kendala. Setting pada shutter speed dibawah 1/60 mengakibatkan blur karena shake (goyangan). Sehingga, artifical lighting sangat dibutuhkan. Tujuannya, menghilangkan dominasi warna cyan. Tetapi, flash pop-up dari kamera low-end saja tidak cukup. Yang ideal adalah menggunakan flash kiri kanan dengan memakai belalai. Hal tersebut bisa menghasilkan foto yang excellent.


Kejernihan medium air yang menjadi tempat pemotretan sangat dibutuhkan. Air yang keruh akan memperburuk kualitas gambar. Tanpa flash, foto bakal buram. Namun, dengan flash, partikel dalam air akan dipantulkan sehingga membentuk spot-spot kecil.


Ada beberapa jenis underwater photography. Misalnya fotografi di kolam renang, bawah laut dangkal atau pantai, dan laut yang dalam. Kini fotografi bawah air berkembang dengan kombinasi pemotretan model maupun wedding dengan menggunakan medium air. Maka, foto di kolam renang maupun pantai yang tidak dalam menjadi pilihan lokasinya.


Underwater photography pada kategori laut sedang, misalnya, mengekplorsi biota laut seperti terumbu karang maupun berbagai jenis binatang laut. Sedangkan untuk deep sea (laut dalam), jumlah fotografer yang menekuni masih sangat terbatas. Yang terkenal sebagai fotografer deep sea adalah Emory Kristof. Dia memotret di kedalaman 4.000 meter dibawah laut saat mengabadikan kapal Titanic yang tenggelam di Newfoundland. Kristof menggunakan lampu eksternal yang terpisah dari kamera dalam jumlah yang banyak. Hasil foto-fotonya yang luar biasa itulah yang mengilhami pembuatan film Titanic.

Dikutip dari Yuyung Abdi (redaktur foto Jawa POS)

Tidak ada komentar: